Pemasangan Mist Net untuk Pecincinan Burung. (dok pribadi)
|
Malam ini selepas
melihat dua pesawat melintas di atas kampung Pogung, terbesit ingin
menulis tentang malam-malam yang mengesankan bagi saya. Bukan
terkesan sebatas pada malam dengan bintang-bintangnya, tapi lebih
kepada mereka yang menghidupkan malam. Mereka lah yang membuat saya
terkesan. Saya, sebagaimana yang teman-teman tahu, adalah mahasiswa
biologi yang identik dengan kegiatan lapangan atau di luar ruang, ya
misalnya ke hutan, pantai, gunung, dan lainnya. Selain dilekatkan
dengan kegiatan seperti itu, kami juga dilekatkan oleh beberapa orang
yang menganggap anak lapangan itu anak yang sulit diatur, anak yang
sukanya cuma main-main ke hutan, anak yang sukanya pagi siang
jalan-jalan di hutan dan malamnya tidur hingga bangun terlambat
menjadi kebiasaan. Saya tidak bisa menyalahkan saat ada segelintir
orang yang beranggapan seperti itu. Bisa jadi karena mereka melihat
orang atau mahasiswa biologi atau kehutanan yang kasusnya seperti
itu. Itu sangat subjektif. Begitu pula yang akan menjadi inti dari
tulisan saya, ini juga akan sangat subjektif. Hanya saja, saya ingin
teman-teman melihat jika anak lapangan (biologi, kehutanan, dkk) juga
mempunyai sisi yang lain saat malam. Tentu saja, saya tuliskan
kembali, ini sangat subjektif, hanya berdasarkan pengamatan saya
pribadi. Dan malam-malam itu saat melihat mereka, membuat saya
terkesan.
Saya beberapa
kali, sebenarnya juga menyaksikan saat kegiatan di lapangan,
teman-teman memang ada yang ngobrol sampai larut, bahkan sampai pagi.
Kalau sudah seperti ini, saya dan beberapa kawan biasanya sudah izin
duluan, begitu acara inti kelar, langsung tidur bersama sleeping
bag. Namun, tidak sedikit pula saya jumpai pemandangan
teman-teman “anak lapangan” yang menghidupkan malam, dan jujur
saja, ini membuat saya terkesan.
Contoh pertama
adalah ketika saya mengikuti Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung
di Indonesia pertama di kampus IPB Bogor tahun 2015 silam.
Bermodalkan penelitian burung yang pertama kali saya kerjakan bersama
teman-teman kelas, saya memberanikan diri untuk mengajukan permohonan
biaya seminar ke fakultas. Alhamdulillah cair, meskipun cuma Rp
500.000,-. Uang ini cukup untuk kegiatan di Bogor? Ya tentu tidaklah.
Uang ini saya bagi berdua dengan Aghnan, rekan penelitian saya. Dan
karena jatah tiap orang yang minim, kami harus mencari penginapan
yang GERATIS, TIS. Alhamdulillah dapat penginapan gratis di gedung
UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) fakultas kehutanan IPB. Dari sekian
ratus peserta yang ikut konferensi, ternyata hanya ada empat orang
yang bermalam di gedung ini. Entah karena cuma beralaskan karpet
sehingga banyak yang tidak menggunakan fasilitas ini, atau alasan
lain, tidak saya pikirkan, haha. Yang penting, saya, Aghnan, dan Mas
Hasbi bisa tidur di tempat yang aman dan gratis. Awalnya kami cuma
bertiga, kemudian panitia konferensi mengantarkan satu orang peserta
yang bergabung bersama kami untuk bermalam. Di luar dugaan (dan ini
membuat kami kaget) ternyata orang itu adalah Mas FR, kakak tingkat
kami di kampus yang waktu itu sedang lanjut studi S2 di UGM. Haha.
Tapi Mas FR ini yang pertama kali membuat saya terkesan tentang sisi
lain malam seorang anak lapangan. Mas FR ini termasuk senior yang TOP
MARKOTOP. Aktif kegiatan di lapangan, pengamatan burung di gunung
hingga meneliti kelelawar dalam gelapnya gua. Dan, beliau juga ahli
dalam biologi yang berbau mikro dan laboratorium. IPK tertinggi se
UNY pernah disandangnya kala beliau wisuda. Saat malam di Bogor waktu
itu, saya sempat terbangun, dan menjumpai beliau sedang melakukan
sholat tahajud. Disinilah letak keterkesanan saya malam itu. Posisi
safar sebenarnya membuat seseorang diringankan untuk beberapa perkara
dalam sholat. Tapi, saya melihat beliau tetap melakukannya, dan saya
berbaik sangka jika beliau saat tidak safar pun juga menjaga sholat
malam. Dari beliau, saya melihat jika “ocehan” anak lapangan
malamnya cuma tidur hingga bangun kesiangan, itu terhapuskan.
Contoh kedua
adalah saat saya melakukan kegiatan pencincinan burung di hutan
Tritis, bagian lereng Gunung Merapi. Ada senior saya juga, sebut saja
Mas I. Pencincinan burung dimulai dari sebelum shubuh hingga sore
hari sebelum petang, ini tentu sangat melelahkan, dan terkadang
membosankan karena bolak balik mengecek jaring, ternyata kosong.
Tapi, malam harinya, saya kembali mendapatkan malam yang mengesankan.
Menjumpai Mas I yang melakukan sholat tahajud setelah malamnya
ekplorasi mencari burung malam.
Contoh ketiga
ketika saya melakukan survei burung (analisis lingukungan) di Kulon
Progo, tepatnya di calon bandara New Yogyakarta International Airport
(NYIA). Survei waktu itu sembilan hari. Saya dan teman dari Jogja
digabungkan dengan teman-teman dari IPB, salah satunya RS, satu tahun
lebih tua dari saya. Saya lebih sering melaju dari kos ke lokasi
(Glagah) meskipun disediakan mess untuk bermalam, tapi karena messnya
“agak horor” dengan gambar-gambar yang sangat amat menyebalkan,
saya memilih pulang. Akan tetapi, ada titik yang membuat saya
akhirnya letih juga karena jarak berkendara yang jauh. Saya akhirnya
memutuskan untuk menginap di mess bersama teman-teman dari IPB. Dan,
malam harinya saya menjumpai RS dan rekannya bergantian sholat
tahajud. Padahal, survei NYIA itu salah satu survei yang melelahkan.
Pagi hari kami harus berpacu dengan mentari untuk segera mendata
burung hingga siang. Siang istirahat, sebelum sore sudah jalan lagi
untuk survei sore. Petang hingga malam dilanjutkan survei
herpetofauna (amfibi dan reptil). Kenapa RS dan rekannya yang
notabene anak lapangan memilih sholat tahajud? Padahal status mereka
juga sedang safar. Saya hanya yakin, jika ini bukan suatu kebiasaan,
tentu mereka akan berat melakukannya.
Contoh keempat,
saat di Malang. Saat lomba bird race Taman Nasional Bromo Tengger
Semeru (TNBTS). Saya dan rombongan UNY menggunakan kereta menuju
Malang kemudian menggunakan angkutan daring untuk menuju rumah Mas
Eko, salah satu lokasi titik kumpul. Beberapa kawan dari Jogja ada
yang memilih motoran sampai Malang. Seharian naik kereta, meskipun
duduk, ini melelahkan, tapi kalau naik motor? Lebih melelahkan, kan?
Tapi, malam harinya saya jumpai kakak tingkat saya beda universitas,
Mas A, melakukan sholat tahajud kemudian tilawah sampai shubuh.
Padahal dari pagi sampai malam motoran dari Jogja sampai Malang.
Statusnya dia? Anak Lapangan.
Menurut saya,
setiap mahasiswa dengan background keilmuan masing-masing, itu
mempunyai sisi yang beraneka macam. Orang akan melihat dari sisi yang
orang itu pilih. Sebagian orang mungkin melihat anak biologi,
kehutanan, dan anak lapangan yang lain dengan stereotype
seperti di awal tadi. Tapi bagi saya, tidak seperti itu. Anak
lapangan juga mempunyai kebaikan-kebaikan dalam perkara dunia dan
akhirat. Tapi, bisa jadi mereka memilih untuk menutupinya.
Saya menulis ini
bukan berarti saya anak lapangan yang sudah hebat seperti teman-teman
saya di atas tadi. Saya masih banyak luput dan salahnya. Dan saya
berharap semoga kita bisa meniru kebaikan mereka. Saya menulis ini
untuk sedikit memberikan gambaran jika anak lapangan itu tidak
semuanya seperti stereotype tadi. Banyak anak lapangan yang
mempunyai kebiasaan yang baik di kala malam.
Dan sejatinya di hadapan Allah yang dilihat bukan kita anak lapangan
atau bukan, tapi kita taat (taqwa) atau tidak, entah apa background
keilmuan kita.
Menatap Langit
Pogung,
Jum’at, 11
Sya’ban 1439 H.
Hari 27 bulan
empat,
Rahmadiyono.
Comments
Post a Comment