Jalan Kaliurang terasa masih sepi, lebih sepi dari biasanya. Bukan tanpa sebab rasa ini ada, karena memang kemarin berangkat ke sekolah lebih pagi. Yang biasanya sekitar pukul 06:10, khusus Rabu kemarin sekitar pukul 05:40. Kenapa lebih pagi? Mau main ke pasar jawabnya, hehe.
Sampai di sekolah, presensi, kemudian langsung lanjut ke pasar. Oya, lupa, ganti sendal dulu. Agak nggak nyaman kalau harus masuk pasar dengan mode seragam sekolah, celana kain hitam, lengkap dengan sepatu pantofel hitam, haha. Turun dari lantai 3, cek dompet, ternyata isi dompet hanya dua lembar uang berpeci hitam plus satu lembar goceng. Pengalaman kalau transaksi di pasar pakai uang besar biasanya pedagang ogah-ogahan. Minta nukerin uang dulu. Kata Indom*ret dan saudara-saudaranya yang langsung terlintas sebagai tempat penukaran uang. Tapi kayanya susah juga kalau cuma nukarin uang, kemungkinan bakal ditolak mbak-mbak kasir. Berpikir sejenak, ok, sekalian saja beli kebutuhan mandi yang sedang dibutuhkan.
Menyusuri KM 13 sampai UII, tidak ada satu Indom*aret yang buka, dan lebih tepatnya memang minim Indom*aret sih, hehe. Toko-toko kecil banyak yang belum buka pula. Sudah lewat Pasar Pakem pun, tidak nemu minimarket itu. Terus kepikiran masa harus sampai sekitar patung udang Kaliurang, kejauhan. Mencoba naik sedikit, akhirnya nemu minimarket yang cukup besar, meskipun bukan Indom*aret. Parkir motor, dan langsung masuk. Begitu masuk, duh, banyak ibu-ibu dah ngantre di dekat kasir. Ternyata pada ngantre beli jajanan pasar. Minimarket ini nggak banyak jual keperluan rumah tangga yang pada umumnya berkemasan plastik, space cukup lebar ternyata untuk jajanan pasar. Full, lengkap, termasuk lauk pauk, nasi bungkus. Setelah ruang sisi kiri dibuka, ternyata full sayuran. Yah pantas aja langsung diserbu ibu-ibu di pagi hari, hehe. Setelah ambil barang, bayar, akhirnya uang berpeci saya bisa jadi kecil-kecil, langsung saja turun menuju Pasar Pakem. Tapi sebelum naik motor, mencoba cek ruang sayuran minimarket dulu, barangkali ada yang saya butuhkan. Dan ternyata nggak jual, fiks turun ke pasar.
Sesampainya di pasar, parkir motor, dan langsung masuk pasar. Dari kejauhan terlihat lapak yang jual biji-bijian yang saya perlukan untuk praktikum. Begitu dihampiri, manggil "bu, ibu, permisi" tidak ada orangnya ternyata. Tidak ingin berlama-lama, ganti mencari lapak yang lain, alhamdulillah nemu, dan cukup komplit, tapi sayang tidak ada jagung. Ketika sedang mengantre, melihat dari kejauhan ada satu lapak kecil, penjualnya sudah nenek-nenek, sudah sepuh, dan tetap menjaga aurat dengan berjilbab dan pakaian lengan panjang, longgar. Masyaallah. Saya amati lebih detail, dan terlihat ada oranye-orenye, jaguuung. Saya pun pindah ke lapak si nenek, menyengaja tidak jadi membeli biji-bijian yang lain dari lapak sebelumnya, karena barangkali si nenek ini jual juga. Sampai di lapaknya si nenek, ternyata dari yang saya butuhkan, cuma ada jagung. Dua tongkol jagung saya masukkan ke tas belanja dengan sebelumnya membayar Rp 5.000. Meskipun hanya dapat satu item dari lapak si nenek, setidaknya mendapat pelajaran untuk tetap berusaha, tetap bekerja meski sudah renta. Menghindari meminta-minta.
Saya kembali lagi ke lapak sebelumnya, melengkapi daftar belanjaan dengan membeli biji-bijian kacang. Sepertinya masing-masing satu ons cukup untuk praktikum tiga kelas. Berapa satu onsnya? Rp 2.000. Karena banyaknya pembeli, banyak dialog tentunya, bahasa jawa halus yang digunakan. Menjadi pengingat saya untuk tetap belajar dan menjaga bahasa jawa halus yang notabene melambangkan penghormatan kepada lawan bicara kita. Jika kita lihat, sistem pasar tradisional dalam hal tersebut menjadi salah satu kelebihan dari minimarket dan bisnis retail yang semakin menjamur. Pasar tradisional memainkan peran menjaga bahasa daerah. Di dalamnya, kita bisa mendapat kosa kata bahasa daerah yang telah kita lupakan, atau bahkan baru kita tahu. Selain itu, di dalamnya juga kita mudah menemukan nenek atau kakek yang mengajari kita untuk tetap berusaha, tidak meminta-minta.
Rabu, 05 Muharram 1441/ 05-09-19
Kantin sekolah,
Rahmadiyono.
*)ini septemBercerita hari ke-4 yang tertunda.
Saya kembali lagi ke lapak sebelumnya, melengkapi daftar belanjaan dengan membeli biji-bijian kacang. Sepertinya masing-masing satu ons cukup untuk praktikum tiga kelas. Berapa satu onsnya? Rp 2.000. Karena banyaknya pembeli, banyak dialog tentunya, bahasa jawa halus yang digunakan. Menjadi pengingat saya untuk tetap belajar dan menjaga bahasa jawa halus yang notabene melambangkan penghormatan kepada lawan bicara kita. Jika kita lihat, sistem pasar tradisional dalam hal tersebut menjadi salah satu kelebihan dari minimarket dan bisnis retail yang semakin menjamur. Pasar tradisional memainkan peran menjaga bahasa daerah. Di dalamnya, kita bisa mendapat kosa kata bahasa daerah yang telah kita lupakan, atau bahkan baru kita tahu. Selain itu, di dalamnya juga kita mudah menemukan nenek atau kakek yang mengajari kita untuk tetap berusaha, tidak meminta-minta.
![]() |
Pasar Pakem. dok pribadi |
Rabu, 05 Muharram 1441/ 05-09-19
Kantin sekolah,
Rahmadiyono.
*)ini septemBercerita hari ke-4 yang tertunda.
Comments
Post a Comment