Skip to main content

Diawe-awe Curug Silawe: Awe-some!

Cuaca yang tidak terlalu cerah mengawali hari saya dan guru lainnya dalam agenda rapat pagi. Rapat kala itu membahas persiapan penilaian akhir semester (PAS) di bulan Juni untuk siswa kami. Meskipun PAS belum dilaksanakan, pikiran saya sudah melesat jauh mencari tempat wisata yang mungkin bisa disambangi ketika liburan sekolah. Bukan tanpa sebab pikiran saya sudah melayang-layang membayangkan liburan. Menjalani rutinitas semester genap di sekolah tetapi siswa berada di rumah karena pandemi itu seringkali melahirkan kebosanan.

Pada jam isitirahat siang, saya membuka aplikasi WhatsApp dan melihat beberapa status yang dibuat kawan. Perhatian saya tertuju pada status mantan mentor belajar saya ketika masa SMA. Beliau terlihat berfoto bersama keluarganya dengan latar foto air terjun. Saya seolah-olah diawe-awe (diberi lambaian tangan) oleh air terjun yang terlihat tinggi dan menawan itu untuk mengunjunginya. Dengan sigap, jari tangan saya gerakkan untuk memberi komentar berupa pertanyaan; “Di mana ini, Bu?” lengkap dengan emoji kegirangan. Tanpa berselang lama, pertanyaan saya dibalas. Magelang menjadi nama daerah yang beliau tuliskan. Dalam benak, saya cukup kaget karena tidak menyangka di kabupaten Magelang yang bersebelahan dengan kabupaten tempat saya tinggal, terdapat air terjun seelok itu. Sebelumnya, wisata Magelang yang saya tahu itu hanya Candi Borobodur, Bukit Tidar, Wisata Alam Jurang Jero, dan beberapa lokasi untuk berkemah atau menatap sunrise. Beliau lalu menambahkan keterangan jika air terjun yang saya tanyakan itu namanya adalah Curug Silawe.

Bulan Juni akhirnya datang. Kegiatan PAS yang telah direncanakan dapat dilaksanakan tanpa halangan. Pembagian rapor secara daring pun usai dan tibalah waktu liburan. Hari pertama liburan saya putuskan untuk langsung ke Curug Silawe karena khawatir saat pertengahan liburan banyak wisatawan yang pergi ke sana juga. Menjauhi kerumunan menjadi penting saat berwisata di masa sekarang. Sebelum berangkat, saya menyiapkan beberapa barang. Masker, penyanitasi tangan (handsanitizer), dan alas salat menjadi barang yang tidak boleh dilewatkan saat bepergian di masa pagebluk ini. Setelah semua barang dirasa lengkap, saya bergegas menjemput seorang kawan yang tinggalnya di dekat Jalan Kaliurang, Sleman.

Perjalanan ke Curug Silawe kami mulai sekitar pukul 7 pagi. Tak lupa sebelumnya kami sarapan untuk mengumpulkan energi. Perjalanan kami targetkan tak lebih dari dua jam. Berangkat dari Jalan Kaliurang, kami kemudian berpindah menuju Jalan Magelang hingga tiba di perbatasan Tempel-Salam. Dari perbatasan ini, motor menyusuri jalan ke arah Grand Artos Hotel Magelang lalu berbelok ke barat menuju Jalan Mertoyudan-Bandongan. Motor masih kami pacu mengikuti setiap kelokan Jalan Mertoyudan-Bandongan hingga menuju area perbukitan. Kami belum tahu nama bukit itu, tetapi setelah menuruninya, hamparan sawah yang indah dengan latar Gunung Sumbing yang gagah menyapa kami. Tidak ingin melewatkan lansekap ini, kami memarkirkan motor di tepi jalan lalu mengambil gambar.

Sebagian Bentang Alam Menuju Curug Silawe.

Perjalanan kami lanjutkan menuju Jalan Raya Kaliangkrik. Brrrrrr. Hawa dingin sangat terasa di sepanjang jalan ini meskipun mentari pagi kian meninggi. Di area Pasar Kaliangkrik, pemandangan warga yang berlalu lalang dengan jaket dan sarung menjadi hal yang lumrah terlihat oleh mata. Mengingatkan saya dengan suasana perkampungan di Wonosobo. Pokoknya, saat melewati Kaliangkrik, vibes masyarakat gunung betul-betul kentara. Dari Pasar Kaliangkrik menuju Curug Silawe tidak jauh lagi. Penunjuk jalan bertuliskan “Curug Silawe” mudah didapati. Kami tinggal mengikuti ke mana jalan menuju.

Masih diselimuti hawa dingin, kami sampai di bundaran Kantor Desa Sutopati. Dari bundaran ini untuk menuju Curug Silawe hanya perlu mengikuti jalan yang lurus dengan jarak tempuh kurang lebih 3 km. Jalanan berkelok menyapa kami lengkap dengan perbukitan yang hijau nan asri. Motor sengaja kami pacu lebih pelan untuk lebih berhati-hati sekaligus menikmati pemandangan alam. Tak berselang lama, jalan menjadi lebih menanjak dan sempit, tetapi masih dapat dilalui mobil wisatawan. Terlihat tanah luas di dekat masjid di kanan jalan. Kami lalu berhenti. Di sini kami bertemu dengan seorang warga yang dengan keramahannya memberi tahu kami jika Curug Silawe masih ke atas lagi. Kami lantas melaju kembali dengan gigi satu. Meskipun gigi satu, motor kami ternyata tidak kuat menanjak menyusuri jalan cor blok berlumut kering itu. Faat -teman yang membonceng saya- terpaksa harus jalan kaki agar motor kuat mendaki.

Bentang alam di sekitar gerbang Curug Silawe.

Sesampainya di atas, saya disambut gapura hitam bertuliskan “Air Terjun Curug Silawe”. Saya lalu berjalan menuju depan gapura depan menanti Faat yang datang dengan cukup ngos-ngosan. Kami tidak menjumpai tempat parkir mobil di atas. Usut punya usut, tanah luas tempat kami berhenti dekat masjid sebelumnya itu ternyata tempat parkir mobil untuk wisatawan Curug Silawe. Motor lalu saya parkir di tempat yang sudah disediakan, menghadap hamparan perkampungan Dusun Kopeng Kidul Desa Sutopati yang diapit oleh bukit yang hijau. Tempat parkir motor Curug Silawe begitu bersih, lengkap dengan pohon damar (Agathis dammara) yang berjajar. 

Faat Berjalan Menuju Gerbang Curug.

Dusun Kopeng Kidul Desa Sutopati yang Diapit Bukit.


Kami dihampiri petugas retribusi. Hanya dengan Rp5.000 untuk tiap orang dan Rp2.000 biaya parkir, kami secara legal masuk di kawasan Curug Silawe. Deretan anak tangga berbahan semen yang tersusun rapi dengan pengaman di tepinya, kami turuni. Dari anak tangga ini suara gemuruh air terjun terdengar begitu menggoda. Berjalan turun sekitar 150-200 m, kami akhirnya tiba. Curug dengan tinggi kurang lebih 60 m itu menyambut kami. Berada di antara bebatuan bukit yang kokoh dengan rimbunnya pepohonan, Curug Silawe bagai hidden gem di Kabupaten Magelang.

Curug Silawe.

Curug Silawe.

Pagi itu cerah dengan awan-awan putih berbagai bentuk dan ukuran. Sesekali awan yang tebal dan berukuran besar menghalangi sinar matahari menyelisik pepohonan di sekitar Curug Silawe. Suasana menjadi lebih gelap dan sepi karena kicau burung yang tandem dengan sinar matahari tidak terdengar lagi. Hanya gemuruh air terjun dan dersik angin yang kami dengar. Alih-alih menjadi menakutkan, suasana itu justru sangat menenangkan saya. Suasana yang saya cari untuk menjeda jiwa dari rutinitas saban hari. Berpadu dengan udara yang begitu segar dan dinginnya percikan air, saya terdiam barang sesaat. Mengagumi ciptaan Tuhan yang begitu mewah di hadapan saya.

Selain terpesona dengan air terjunnya, bentuk bebatuan di sekitar lubang tempat air turun juga menyita perhatian. Jika saya amati, bebatuan itu berbentuk unik. Semacam patahan balok yang disusun. Semakin ke bawah, bebatuan balok ini menjelma menjadi sekumpulan semak tebing berwarna hijau berpadu dengan bebatuan hitam. Perpaduan yang sempurna, batin saya bergumam. Di bagian bawah air terjun, terbentuk kolam yang terlihat asyik untuk mandi. Setelah terkumpul di kolam, air curug melanjutkan alirannya melewati bebatuan yang tak beraturan posisinya beserta sampah-sampah yang tersangkut di sela-selanya.

Perpaduan Tumbuhan, Air, dan Dinding Curug.

Capung Euphaea variegata (jantan); Salah Satu Jenis Capung yang Dijumpai di Curug Silawe.


Awan putih nan tebal berjalan mengikuti angin membuat sinar matahari menyentuh lantai hutan kembali. Tidak sampai hitungan semenit, serangga yang cantik berterbangan dan kicau burung terdengar menyibak keheningan. Kami pun melanjutkan perjalanan. Tidak perlu berjalan jauh, kami menjumpai jembatan yang melintang di atas aliran air. Dari jembatan ini, perhatian saya teralihkan dengan penampakan curug di balik rerimbunan bambu. Awalnya saya kira itu adalah bagian dari Curug Silawe, sama-sama satu kompleks. Setelah mencari informasi, ternyata curug tersebut sudah berbeda dari Curug Silawe meskipun lokasinya sangat berdekatan. Curug Sigong namanya. Berbeda dengan Silawe yang berarti laba-laba, penamaan Sigong diberikan karena konon saat malam suara curug ini seperti gong yang menggema. Ketinggian Curug Sigong juga tidak setinggi Curug Silawe, pun dengan debit airnya juga jauh lebih sedikit. Di dekat jembatan ini pula, terdapat gazebo yang bisa digunakan untuk istirahat wisatawan. Alih-alih istirahat di gazebo, kami justru semakin mengeksplorasi kawasan curug yang berada di lereng Gunung Sumbing ini.

Faat dan Curug Silawe.

Sekitar 2 jam kami mengeksplorasi Curung Silawe. Alih-alih kulit berkeringat karena banyak bergerak, efek hawa dingin justru membuat kandung kemih saya memberikan sinyal lebih kuat untuk segera membuang “cairan” tubuh. Segeralah saya mencari kamar mandi. Di dekat tangga curug terdapat kamar mandi di bawah naungan bambu. Terlihat begitu menyatu dengan alam. Selain itu terdapat pula kamar mandi di dekat tempat parkir motor.

Dirasa cukup mengambil puluhan foto di Curug Silawe, kami memutuskan untuk kembali pulang. Sesampainya di tempat parkir, terlihat warung di belakang pos retribusi telah membuka lapaknya. Wisatawan dapat membeli minum atau makanan ringan di warung ini. Setelah membeli dan menikmatinya, jangan lupa untuk membuang sampah pada tempat yang disediakan. Karena amat disayangkan saat kita berwisata tetapi membuang sampah tetap sembarangan.

Suasana Curug Silawe yang alami nan asri, sayang jika dinikmati sendiri. Setelah pagebluk Covid-19 selesai atau minimal kurva kasus aktif di Jawa melandai, rasanya ingin kembali ke Curug Silawe bersama kawan lainnya yang begitu penasaran setelah saya mengunggah foto curug tersebut di media sosial. Untuk sekarang, di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat ini biarlah Curug Silawe terjeda sejenak dari kehadiran manusia -yang terkadang saat berwisata berbuat sesukanya-.





Rumah bapak, tanggal 21 bulan tujuh 2021


rahmadiyono

Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda