Skip to main content

Mengenal Burung Terestrial Migran

Pada tulisan ke-2 burung yang bermigrasi ini, topik tentang kelompok burung terestrial/daratan yang saya tulis. Saya menyarankan Anda untuk membaca tulisan pertama tentang burung migran secara umum sebelum membaca halaman ini.


Burung terestrial yang bermigrasi cukup banyak jenisnya. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta saja yang notabene tidak luas kawasannya, terdapat 31 jenis burung migran dari kelompok ini (Taufiqurrahman, 2015). Karena keterbatasan ilmu dan pengalaman saya, di kesempatan ini mungkin hanya jenis-jenis terestrial migran yang umum di kawasan perkotaan dan beberapa contoh di area hutan atau pesisir yang dapat saya ditampilkan. Sebelumnya, berkaitan dengan burung terestrial migran, meskipun bermacam-macam insyaallah tidak sulit dipelajari jika dibandingkan burung migran dari kelompok burung pantai maupun pemangsa yang terlihat mirip-mirip.


Layang-layang

Berbicara tentang burung terestrial migran tidak sebatas pada mereka yang menggunakan habitat kawasan hutan saja. Terdapat jenis yang sudah lekat dengan kehidupan kita di perkotaan, meskipun kita tidak menyadarinya. Sebut saja layang-layang asia (Hirundo rustica, +-17 cm) yang saat musim migrasi tiba, datanglah mereka ke banyak kota di Indonesia. Bahkan di sekitar titik 0 KM Yogyakarta, keberadaan mereka tercatat hingga 147.000 individu pada tahun 2014 (Atlas Burung Indonesia, 2020). Layang-layang asia dikenal pula dengan nama Barn Swallow. Jenis ini berbiak di belahan bumi utara. Memiliki banyak ras yang tersebar di penjuru dunia.

Saat bermigrasi ke Indonesia, banyak laporan yang menyebutkan mereka menggunakan roosting site (area istirahat) yang sama dari tahun ke tahun. Sebelum matahari menyingsing, mereka akan meninggalkan roosting site beramai-ramai dan kembali saat petang. Pemandangan ini menarik untuk diamati, tetapi tetap harus hati-hati saat berada di area istirahatnya karena bisa saja kita terkena kotoran mereka. Bahkan pada tahun 2018 sempat ramai di berita penembakan layang-layang asia ini karena dianggap mengotori lingkungan. Beritanya dapat Anda baca di sini.

Mengidentifikasi layang-layang asia bisa dibilang gampang tapi tetap harus teliti karena ada jenis burung layang-layang yang berstatus penetap (bukan migran) dan menggunakan habitat yang sama dengannya. Bahkan tak jarang teramati bertengger bersamaan pula. Jenis yang seringkali membuat birdwatcher muda salah identifikasi adalah layang-layang loreng (Hirundo striolata) dan layang-layang batu (Hirundo tahitica).


Membedakan Layang-layang Asia dengan Lainnya.

Membedakan layang-layang asia dengan dua jenis layang-layang yang telah disebutkan adalah melihat pada bagian kalungnya. Layang-layang asia memiliki kalung berwarna hitam yang memisahkan warna merah karat pada lehernya dengan warna putih pada perut. Layang-layang batu tidak memiliki kalung berwarna hitam. Sedangkan layang-layang loreng tidak memiliki kalung juga dan dada hingga perutnya memiliki corak bercoret. 

perbedaan burung layang-layang. dokumentasi pribadi.

Jalak

Kawasan Sunda Besar (Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali) memiliki tiga jenis burung jalak migran, tetapi hanya satu jenis yang diketahui bermigrasi hingga pulau Jawa (MacKinnon, 2010). Satu jenis tersebut adalah burung jalak cina (Sturnus sturninus, +-18 cm). Jalak cina bermigrasi secara mengelompok. Di Yogyakarta sendiri, pernah teramati hingga lebih dari 2.000 individu beristirahat pada area yang sama. Dengan jumlah yang banyak, mereka dapat terbang secara berkelompok terlihat seperti satu kesatuan atau dikenal pula dengan istilah murmuration.

Salah satu tempat terbaik untuk mengamati jalak cina adalah di Plaza Ambarrukmo Yogyakarta. Ini tidak promosi plaza lho ya, haha. Tapi memang di sanalah jenis ini teramati. Sebelum menempati area plaza, jalak cina pernah menempati area Istana Kepresidenan di titik 0 KM. Di area Plaza Ambarrukmo, mereka berbaur dengan kerabatnya yang termasuk jenis penetap; burung kerak kerbau (Acridotheres javanicus).

sekelompok jalak cina dengan dua kerak kerbau. dokumentasi pribadi.


Sikatan

Iya, Anda tidak salah baca. Beberapa jenis burung memang memiliki nama yang unik, salah satunya burung sikatan. Saya pernah menjumpai beberapa jenis sikatan baik penetap maupun migran. Untuk jenis migran, sikatan bubik (Muscicapa daaurica, +-13 cm) adalah yang paling sering saya jumpai saat musim migrasi. Bahkan pernah teramati di kawasan perkotaan Bandar Lampung. Jenis ini mirip dengan kerabatnya yaitu sikatan sisi-gelap (Muscicapa sibirica, +-13 cm). Pembedanya yang terlihat adalah dada dan sisi tubuh sikatan sisi-gelap memiliki corak bercoret, sedangkan sikatan bubik tidak memilikinya. Selain dua sikatan tersebut, jika Anda beruntung dapat pula berjumpa jenis sikatan migran lainnya yang dari segi warna tubuh lebih menarik seperti sikatan emas (Ficedula zanthopyga) dan sikatan biru-putih (Cyanoptila cyanomelana).

sikatan bubik. dokumentasi pribadi.

sikatan sisi-gelap. dokumentasi pribadi.


Kicuit

Jenis burung terestrial migran lainnya adalah kicuit atau dikenal pula dengan nama Wagtail. Di kawasan Sunda Besar, terdapat empat jenis kicuit yang diketahui dan semuanya adalah migran. Dari empat jenis yang ada, saya pernah menjumpai tiga di antaranya: kicuit batu (Motacilla cinerea, +-19 cm), kicuit kerbau (Motacilla tschutschensis, +-19 cm), dan kicuit hutan (Dendronanthus indicus, +-17 cm).

Kicuit hutan paling mudah dibedakan dari ketiganya. Selain karena perjumpaannya yang biasanya di kawasan hutan, dari segi warna juga berbeda. Dominan coklat, hitam, dan putih. Sedangkan dua jenis lainnya berwarna kuning dan zaitun.

Untuk membedakan kicuit batu dan kicuit kerbau, salah satu caranya bisa dilihat pada warna punggung. Kicuit batu memiliki punggung dan bahu berwarna abu-abu, sedangkan kicuit kerbau berwerna zaitun pada dua bagian tersebut. Oya, ada video menarik tentang burung kicuit dari BBC Earth. Anda dapat melihatnya di sini. Ditampilkan pula burung layang-layang.

kicuit hutan. dokumentasi pribadi.

kicuit batu. dokumentasi pribadi.

kicuit kerbau. dokumentasi pribadi.


Cekakak

Burung cekakak termasuk dalam famili Alcediniade. Dari famili ini, saya baru pernah menjumpai dua jenis migrannya; cekakak australia (Todiramphus sanctus,,+-23 cm) dan raja-udang erasia (Alcedo atthis, +-15 cm). Dua jenis tersebut umum dijumpai saat musim migrasi. Catatan dalam identifikasinya adalah untuk cekakak australia mirip dengan cekakak sungai (Todiramphus chloris) dan raja-udang erasia mirip dengan raja-udang meninting (Alcedo meninting). Antara dua jenis yang dibandingkan tersebut memang memiliki kemiripan, tetapi tetap ada pula ciri khas yang dapat membedakannya selain dari aspek waktu migrasi.

Cekakak sungai memiliki warna biru dan putih yang begitu kontras. Warna putih pada leher hingga perutnya terlihat bersih. Untuk cekakak australia, warna biru sedikit kehijauan dan warna putihnya tidak bersih. Bahkan seringkali teramati pula warna dada dan perut cekakak australia berwarna kuning kecoklatan.

burung cekakak sungai. dokumentasi pribadi.

burung cekakak australia (dikenal pula sebagai cekakak suci). dokumentasi pribadi.

Raja-udang erasia dapat dibedakan dengan raja-udang meninting dari adanya warna oranye pada pipinya. Raja-udang meninting mempunyai warna pipi yang sama dengan kepalanya. Selain itu, jika tidak terjadi bias cahaya, warna tubuh raja-udang erasia juga terlihat hijau kebiruan.

raja-udang meninting (burung ini dipegang secara aman oleh ahli untuk kepentingan penelitian). dokumentasi pribadi.

raja-udang erasia. dokumentasi oleh JB Naturfoto.


Selain burung yang telah disebut di atas, masih banyak dijumpai jenis burung terestrial migran lainnya di Indonesia. Salah satu tips untuk mengetahui dan mempelajarinya adalah memperbanyak melakukan pengamatan burung saat musim migrasi. Lakukan pengamatan ciri morfologik sebaik mungkin jika melihat jenis burung yang baru bagi kita. Akan menjadi bantuan yang sangat berarti saat bisa mendokumentasikannya. Setelah itu, diskusikan dengan pengamat burung yang lebih senior atau lebih ahli dari kita.


Referensi:

Atlas Burung Indonesia. 2020. Atlas Burung Indonesia: Wujud Karya Peneliti Amatir dalam Memetakan Burung Nusantara. Batu: Yayasan Atlas Burung Indonesia.

Mackinnon, Jhon, dkk. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, dan Bali. Diterjemahkan oleh Wahyu R, dkk. Bogor: Burung Indonesia.

Taufiqurrahman, Imam, dkk. 2015. Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Kutilang Indonesia. 



Sleman, hari 21 bulan 9, 2021.


rahmadiyono.

Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda