Ramadan baru mulai berjalan, tapi kawan saya sudah berulang kali menyebut rencana “healing” selepas lebaran. Bukan tanpa alasan, nyatanya tugas kuliah, pelatihan, dan pencarian beasiswa studi lanjut memang menjadikannya butuh liburan. Saya pun yang sebenarnya nggak butuh-butuh amat liburan akhirnya tergoda pula untuk jalan-jalan. Tak lama berselang, saya mulai mencari informasi destinasi wisata yang layak dijadikan lokasi tujuan. Ingatan membawa saya untuk menghubungi seorang kawan yang pernah ke Gunungkidul untuk berkemah di akhir pekan. Darinya, nama Bukit Pengilon terlontarkan sebagai tempat terbaik untuk healing bersama kawan.
![]() |
dokumentasi pribadi |
Singkat cerita, beberapa hal sudah saya persiapkan. Namun, kawan memutuskan membatalkan karena jadwal sidang skripsi yang keluar dadakan. Tentu sidang harus diutamakan daripada sekadar liburan. Meski healingnya dia batalkan, saya tetap melanjutkan apa yang sudah direncanakan. Akhirnya saya berangkat liburan hanya bersama Afrizal dan Ihsan, dua teman di perkuliahan yang seringkali menjadi #kawanjalan.
Sebelum berangkat, Afrizal berbagi pengalaman. Ia bercerita, untuk menuju Bukit Pengilon ada tiga jalan; rute Siung, Wedi Ombo, dan Watu Lumpang. Ia pernah memilih rute Watu Lumpang yang jalannya ekstrem dan bikin jantung semakin deg-degan. Lalu ia melanjutkan dengan cerita rute Siung yang jalurnya cukup panjang. Jika memilih rute Siung, wisatawan harus berjalan 30 menitan dari lokasi parkir kendaraan. Tentu ini cukup melelahkan. Tak hanya itu, banyaknya retribusi juga dapat menguji kesabaran. Rute Wedi Ombo akhirnya menjadi pilihan meskipun belum pernah Afrizal gunakan. Rute ini bisa dibilang punya banyak kelebihan. Pertama, motor bisa langsung diparkirkan di Bukit Pengilon sehingga tak perlu menambah perjalanan. Kedua, retribusi cukup dua kali sehingga tidak banyak uang yang dikeluarkan.
Ahad pun datang dan kami baru memulai perjalanan di penghujung siang. Jalan raya Wonosari cukup membuat kepanasan. Lalu mulai menaiki Bukit Bintang, berubahlah keadaan karena banyaknya pepohonan yang rindang. Tak berselang lama, kemacetan menjadi hal yang tak dapat dielakkan. Motor akhirnya melaju dengan pelan. Memasuki Kota Wonosari, kami berhenti sejenak di persimpangan untuk membeli tambahan perbekalan. Selepasnya, kami menyusuri jalan Wonosari - Pantai Baron dengan kecepatan yang tak lagi pelan. Maklum, khawatir tidak mendapatkan momen matahari terbenam. Di pertigaan Mulo Jl. Pantai Baron, kami berbelok ke kiri menuju Tepus setelah melihat papan petunjuk di kiri jalan.
Untuk menuju Bukit Pengilon, kami mengikuti jalan menuju Pantai Wedi Ombo hingga bertemu pertigaan Pantai Siung ke arah kanan. Umumnya wisatawan yang menggunakan Google Maps akan diarahkan belok kanan. Wisatawan lalu berhenti di dekat Pantai Siung untuk memarkirkan kendaraan kemudian berjalan kaki sebagai tambahan perjalanan. Karena tak ingin berjalan, di pertigaan ini kami tetap lurus mengikuti jalan. Setibanya di tempat pembayaran retribusi (TPR) Wedi Ombo, kami membayar tiket masuk kawasan. Hanya Rp5.000 per orang.
Dari TPR ini, kami melanjutkan perjalanan hingga menjumpai gapura Gunung Batur di kanan jalan. Kami belok kanan mengikuti jalan yang tak lagi beraspal, tapi masih cukup nyaman dan aman. Akhirnya kami tiba di parkiran Gunung Batur setelah menyusuri jalan, membelah ladang dan persawahan. Di area ini, mobil harus diparkirkan, tetapi motor masih bisa melanjutkan perjalanan. Jalanan masih berupa tanah, sehingga kami menambah kehati-hatian. Untungnya tak berselang lama, kami tiba di area parkir kawasan. Setelah memarkirkan kendaraan, kami mengisi buku kunjungan dan membayar tiket Rp2.000 per orang. Uang Rp20.000 per satu tenda juga kami bayarkan. Jika ditotal dari TPR, kami hanya membayar Rp41.000 untuk serombongan. Tentu ini termasuk murah untuk menikmati kawasan yang tidak murahan. Apalagi sudah termasuk biaya menggunakan listrik, musala, dan kamar mandi ber-air kran.
![]() |
dokumentasi pribadi. |
Kami tiba di Bukit Pengilon tepat saat matahari terbenam. Semburat jingganya tetap terlihat indah meski dirinya tertutup awan. Bulat dan terangnya bulan di timur juga menambah kesan yang mendalam. Lalu kami mendirikan salat magrib setelah sejenak mengistirahatkan badan. Perut lapar akhirnya datang. Karena sedari siang saya belum makan dan Ihsan hanya makan mie instan, kami memilih membeli nasi di warung meski harus berjalan. Nasi telur berbungkus daun pisang menjadi santapan. Lidah betul-betul dimanjakan. Sepanjang pengalaman saya bermalam di desa-desa di Gunungkidul, masakan rumahannya memang tak pernah mengecewakan.
![]() |
dokumentasi by Afrizal |
![]() |
dokumentasi pribadi. |
Kami menikmati malam bersama sedikitnya kerlipan bintang karena terkalahkan dengan terangnya rembulan. Malam itu tanggal 15 dalam kalender Islam. Tak heran jika bulan terlihat begitu terang dan menawan. Saking terangnya, tanpa lampu pun kami dengan mudah melihat setiap helai dedaunan. Menuju tengah malam awan mendung mulai datang. Kami berpindah ke dalam tenda untuk menghindari air hujan. Sesaat setelahnya, tenda diterpa angin kencang. Lampu tenda bergoyang. Syukurnya, tenda tetap bertahan dan hujan cepat menghilang.
![]() |
dokumentasi pribadi (tidak presisi, tidak bawa tripod). |
Pagi datang dengan sambutan planet Mars, Jupiter, dan Venus yang terang. Meski Jupiter dan Venus tak lagi berdekatan, mereka tetap indah dipandang. Sang fajar semakin meninggi ditemani berbagai kicauan. Selain burung merbah cerucuk, dari kejauhan juga terdengar suara ayam hutan. Saya begitu menikmati suasana pagi yang telah ditakdirkan. Sebagai kenangan, momen itu pun saya digitalkan. Setelah cukup puas menikmati permulaan fajar, kami menyiapkan sarapan. Roti dengan isian telur, sosis, keju, cabai dan bawang menjadi menu yang Afrizal sajikan. Kami tidak tahu dengan apa makanan ini dinamakan. Yang penting membuatnya tidak ribet, rasa enak, dan tetap menyehatkan. Kami tidak sarapan sendirian. Di kejauhan juga terlihat seekor burung elang pemakan ikan. Ia terbang berputar mengintai ikan di lautan untuk dijadikan sarapan. Selepas sarapan, kami melanjutkan mendokumentasikan keindahan alam. Di Bukit Pengilon ini ada beberapa titik yang cukup membahayakan. Sehingga saat berfoto, sikap hati-hati haruslah diperhatikan.
![]() |
dokumentasi oleh Afrizal. |
![]() |
dokumentasi pribadi. |
Jam terus berjalan dan semakin banyak wisatawan yang datang. Kami pun berkemas untuk pulang. Setelah semua barang dirapikan, kami menuju area parkir kendaraan. Namun bukannya langsung pulang, salah satu sisi bukit justru menyita perhatian. Saya lalu sejenak mendaki untuk melihat hijaunya Bukit Pengilon dan birunya Laut Selatan dari ketinggian. Masyaallah, begitu indahnya dua hal ini dipadukan. Saya kembali turun dan kami pun memulai perjalanan pulang. Perjalanan pulang tak terlalu melelahkan. Mungkin karena hati kami dipenuhi kepuasan dan kesenangan. Setibanya di Jalan Wonosari, kami mampir untuk makan. Tentu saja, mie ayam menjadi andalan. Betul-betul kenikmatan menuju siang, apalagi ditraktir penuh oleh Ihsan. Jazaahullahu khairan, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
![]() |
dokumentasi pribadi. |
Catatan:
Terkait rute menuju Bukit Pengilon, tentu menjadi pilihan masing-masing pribadi ya. Bagi yang mau menikmati perjalanan kaki, rute Siung memang tetap menjadi pilihan utama. Tapi harus bersiap membayar lebih pula karena akan melewati beberapa TPR. Dari catatan seorang blogger, setidaknya melalui rute Siung ke Bukit Pengilon akan membayar untuk: TPR Pantai Siung, parkir motor Pantai Siung, tiket naik bukit Pantai Siung, tiket melewati Pantai Banyu Tibo, tiket Bukit Pengilon, biaya camping
Sleman, hari ke-29 bulan lima 2022.
rahmadiyono.
Comments
Post a Comment