Skip to main content

Anak Ragil's Journey #1 : "Bermula Diatas Jarum"

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Tak terasa sudah dua tahun saya mengenal keluarga ini. Keluarga sederhana yang selalu bisa berbagi kebahagiaan didalamnya. Keluarga yang jauh dari kata sempurna, tapi saya bersyukur menjadi bagian dari mereka. Inilah satu dari sekian keluarga yang saya miliki di Jogja, kota perantauan saya, keluarga yang kadang aneh dan gag jelas orangnya, keluarga unik, keluarga Bionic.

Disini saya ingin berbagi cerita tentang awal saya mengikuti kegiatan Bionic dan insyaAllah akan saya tuliskan hingga sebuah cerita tentang bagaimana ada yang menjuluki saya sebagai Anak Ragil (Anak Terakhir) karena saya memang anggota terakhir yang dilantik pada angkatan saya.

dan ini bukanlah cerita yang hebat,
ini bukanlah cerita yang luar biasa,
ini hanya sebuah catatan perjalanan saya,
membuka mata untuk lebih mencintai alam,
membuka hati untuk lebih yakin atas Kebesaran Allah 'azza wa jalla di bumi ciptaanNya...

inilah cerita pertama saya,

“1 Pesan Baru Diterima”, kalimat singkat ditandai dengan deringan nada masuk dalam batangan logam (baca : handphone) saya.
Tak terlalu panjang pesannya, intinya hanya sebuah informasi. Informasi jika pada akhir pekan akan diadakan pengamatan burung bersama mahasiswa baru FMIPA UNY 2013.

Ya, status saya kala itu masih menyandang “MaBa”. Dan pesan-pesan berisikan kegiatan-kegiatan untuk mahasiswa baru sering saya terima –mengingat status saya juga kepala suku di Pebioceae (Pendidikan Biologi kelas C UNY)- Langsung saya  forward pesan singkat itu kepada teman-teman sekelas, meskipun sebenarnya saya belum ada niatan untuk mengikuti kegiatan KPB Bionic UNY itu.

Mendekati hari H, saya berpikir jika mengikuti kegiatan itu mungkin akan bermanfaat untuk saya paling tidak mengisi waktu kosong saya sebagai anak perantauan. Hari H pun tiba, Sabtu 26 Oktober 2013 sekitar pukul 6 pagi saya langsung menuju dekanat selatan FMIPA. Ternyata beberapa orang sudah lebih awal menunggu disana, dan dari pesan yang saya forward ada yang membuahkan hasil. Ada dua teman saya yang ternyata juga ikut kegiatan tersebut. Nilam (teman sekelas) dan Bima (anak biologi E). Pagi itu juga mendapat kenalan baru, Mbak Asti Hawa (biasa kami panggil Mbak Astul) dari UGM, Mbak Arellea Biologi UNY 2011 dan Mas Prajawan Pendidikan Biologi UNY 2010. Merasa sudah tidak ada yang ditunggu lagi, kami berenam langsung menuju TKP di Kaliurang.

Dulu belum tahu mana Kaliurang itu, jadi waktu diperjalanan mikirnya “kok lama ya”, tetapi semakin lama udara dingin semakin terasa hingga kami sampai disebuah perempatan dengan Patung Udang ditengahnya. Diperempatan tersebut, kami berhenti. Menunggu seseorang. Benar saja, ada dua orang yang tidak ikut kumpul dikampus. Janjian di Patung Urang. Tambah lagi dua teman baru, Mas Wahab dari Biologi UNY 2008 dan Mas Afrizal dari Biologi UGM 2011. Perjalanan kami lanjutkan karena Patung Urang bukanlah tempat untuk pengamatan. Sekitar 10 menit dari Patung Urang dengan melewati jalan tanah berumput, kami tiba disebuah tanah cukup lapang tetapi tepat diatas sebuah tebing. Area yang tidak luas itu, biasa disebut Bukit Jarum. Memang terdengar aneh namanya. Motor langsung kami parkir. Di Bukit Jarum ternyata sudah ada satu orang yang menunggu, namanya Mas Kir.

Waktu itu cuaca awalnya cerah berawan, sehingga kami tidak bisa langsung pengamatan. Sambil menunggu awan menjauh, kami memanfaatkan waktu untuk sarapan. “Sarapan ?” padahal saya, Bima, dan Nilam tidak bawa sarapan waktu itu soalnya memang tidak tahu kalau mau sarapan dulu. Tapi ternyata kakak-kakak dari Bionic sudah membawakan sarapan berupa nasi pecel dengan porsi jumbo. Perut sebenarnya lapar betul pagi itu, tapi mau makan ya sungkan, orang nggak bayar kok makan, tapi terus kalimat yang seakan bisa baca pikiran saya itu pun keluar dari lisannya Mas Praja, “Wes to, rasah isin isin, geg ndang dimaem, yen ra gelem kene, tak pangane dewe” (artinya : Udah deh, gag usah malu, buruan dimakan, kalau gag mau yaudah bawa sini, biar saya makan sendiri). Mendengar ucapannya Mas Praja itu, ya apa boleh buat. Buang rasa sungkan kedalam jurang, nasi pecel + gorengannya langsung saya makan bareng Bima. Sambil makan ya sambil mendengarkan cerita orang. Sharing juga sama Mbak Astul, ternyata beliau tertarik sama ilmu yang berbau serangga. Dari cerita beliau juga jadi tahu kalau di UGM itu banyak komunitas yang tertarik pada hewan yang berbeda-beda.

Sesaat setelah saling tukar cerita, kami mencoba menengok kearah langit, barang kali ada burung yang sedang terbang, tapi hasilnya Nol. Tidak ada burung yang terbang melintas. Beberapa orang mulai berteduh karena cuaca sudah cerah dan mulai panas, tapi saya memilih untuk melihat kearah hutan. Ada seperti titik hitam yang berputar-putar diatas hutan. Dalam benak saya, “Apa sih itu ?”. Karena memang tidak tahu, saya abaikan titik hitam dilangit itu. Dan sesaat setelah saya memalingkan pandangan kearah yang lain, si Bima berteriak “Mas itu ! Diatas pohon”. Saya pun langsung menoleh kearah yang ditunjuk Bima, ternyata titik hitam yang saya lihat tadi kian membesar, dan ternyata itu adalah burung elang yang sedang soaring. Langsung saya dipinjami binokuler (sebuah teropong dua lensa yang umum digunakan untuk pengamatan burung). Meskipun dipinjami, tetapi saya tidak bisa menggunakannya, soalnya memang belum pernah makai sebelumnya. Karena bingung, ya sudah, tidak saya gunakan itu alat. Tanpa binokuler, si elang juga sudah terlihat. Setidaknya tahu kalau itu adalah burung, bukan plastik hitam yang terbang, hehe. Tapi seingat saya dulu juga sempat diajari Mbak Arellea mengenai cara penggunaan binokuler.

Saat saya masih asyik melihat seekor elang yang terbang, kakak-kakak dari Bionic sudah pindah arah pandangan, ternyata dilangit ada beberapa elang, mungkin sekitar 5, yang terbang. Saya pun juga segera memindah pandangan untuk melihat beberapa elang yang melintas itu. Melihat elang yang sangat tinggi, dan ditambah cuaca yang semakin panas, membuat mata saya lelah. Saya lantas memilih berteduh, membiarkan kakak-kakak Bionic yang juga asyik dengan kameranya. Tidak berselang lama, salah seorang dari mereka berteriak sambil menunjuk langit. Saya awalnya tidak tahu apa yang beliau teriaki. Saya hanya ikut-ikutan melihat kearah langit, dan ternyata, dari balik putihnya awan, tiba-tiba puluhan titik-titik hitam muncul. Jumlahnya puluhan dalam satu kelompok. Sontak saya kagum, keren sekali. Itu pasti burung. Tapi pertanyaannya “Apakah semua itu adalah burung yang sama ?”. Dari hasil diskusi siang itu, ternyata ada dua jenis elang dalam kelompok tersebut, yaitu elang-alap jepang (Accipiter gularis) dan elang-alap cina (Accipiter soloensis). Saya tidak tahu perbedaan keduanya, tetapi untuk orang awam seperti saya ya paling tidak tahu kalau itu adalah burung.

Hari semakin siang, tapi pengamatan tetap berlangsung karena menurut kakak-kakak Bionic waktu itu, aktivitas burung elang memang paling tinggi antara pukul 09 pagi hingga hampir jam 12 siang. Aktivitas paling tinggi burung elang memang bisa sampai tengah hari, tetapi sebagai manusia kami juga mempunyai batas kemampuan. Hari yang sangat panas membuat kami harus mengakhiri pengamatan siang itu. Sebelum pulang, kakak-kakak Bionic masih menyempatkan untuk menghitung hasil pengamatan. Luar biasa, ternyata jika dikalkulasikan, pengamatan siang itu memeroleh 152 individu elang, dengan distribusi sebagai berikut :

1.      Elang-alap cina / Chinese Sparowhawk (Accipiter soloensis)             : 102
2.      Elang-alap jepang / Japanese Sparowhawk (Accipiter gularis)           : 22
3.      Sikep-madu asia / Oriental Honey Buzzard (Pernis ptilorhynchus)    : 25
4.      Alap-alap sapi / Spotted Kestrel (Falco moluccensis)                         : 1
5.      Elang hitam / Black Eagle (Ictinaetus malayensis)                             : 1
6.      Elang-ular bido / Crested Serpent Eagle (Spilornis cheela)                 : 1

Pengamatan burung elang di Bukit Jarum siang itu betul-betul pengalaman yang istimewa. Pengalaman yang membuat saya berpikir “Burung terbang bebas itu ternyata indah”. Pengalaman yang seakan menjadi pintu gerbang saya menuju langkah-langkah selanjutnya. Langkah bersama kawan, langkah bersama alam.

Setelah pengamatan siang itu, pengamatan burung menjadi kawan bulanan saya, dan setelah ini insyaAllah akan ada juga cerita tentang perjalanan saya bersama Bionic selanjutnya, dalam rubrik “70 Anak Elang”. J

Bukit-bukit dikawasan Gunung Merapi Sleman,
foto diambil dari Bukit Jarum oleh Rahmadiyono Widodo, tahun 2015


Terimakasih telah membaca, semoga bermanfaat

Diselesaikan di depan Perpustakaan Biologi UNY
Rabu, ...... / 18 November 2015 M
Dalam suasana mendung,



-aLr-


Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda