Skip to main content

"Bukan Air yang Menggenang"

Bismillahirrahmaanirrahiim

Foto salah satu sisi Waduk Cengklik, Boyolali,
oleh Rahmadiyono Widodo
Pagi ini, tidak terlalu berbeda dari hari-hari lainnya. Masuk kampus jam 07.00 WIB, membuat tergesa-gesa hingga diri saya lupa untuk membawa buku dan presensi dari dosen.

Pagi ini, mata kuliah Bioper (Biologi Perairan) mengawali cerahnya hari Rabu. Dalam kelas sudah ditampilkan slide tentang perbedaan perairan menggenang dengan perairan mengalir. Awalnya, karena saya tidak mengikuti kelas dari awal, saya mengira masih membahas tentang perbedaan dua perairan tersebut. Namun, ternyata saya salah. Pagi ini, dosen bioper saya kembali menyampaikan tausiyah-tausiyahnya yang dikemas dengan menarik. Beliau menyampikan tausiyah yang dihubungkan dengan materi yang sedang terlihat pada slide. Tausiyah beliau tidak terlalu panjang, tapi seperti biasa, LUAR BIASA.

Beliau menyampaikan bahwasannya kita sebagai manusia hidup seperti sungai (perairan mengalir). Mengalir mengikuti rutenya menuju akhir, maksudnya kita sebagai manusia hidup menuju pada satu tujuan yaitu akhirat. Kita terus bergerak (menuju kematian), kita tidak diam layaknya danau (perairan menggenang). Dengan menerima konsep hidup seperti aliran sungai yang mengalir, beliau berharap kami –sebagai mahasiswa- betul-betul sadar untuk apa kami berada didalam dunia kampus. Beliau berharap, karena kita menuju satu tujuan yaitu akhirat, kami selaku mahasiswa betul-betul memanfaatkan waktu untuk belajar mendapatkan ilmu dengan belajar, bukan menjadi mahasiswa yang hanya ngejar nilai atau IP.

Itulah sedikit tausiyah beliau hari ini, insyaAllah dilain kesempatan akan saya tuliskan tausiyah beliau yang lain. Namun, sedikit menambahkan. Saya setuju dengan konsep hidup seperti air yang mengalir.

Kenapa ?

Kerena air yang mengalir dapat lebih jauh memberikan manfaat untuk tempat lain daripada air yang menggenang disatu tempat. Selain itu, dengan menjadi air yang mengalir kita akan dapat mempertahankan “kejernihan” kita kerena air yang menggenang cenderung mudah kotor  dan dapat dengan mudah menimbulkan penyakit.

Sekian, semoga bermanfaat. Terimakasih.

diselesaikan di ;
Kamar Asrama, Sleman Sembada
Rabu malam, 28 Jumadil Ula 1436 H

Salam dari saya,
-aLr-


  

Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda