Skip to main content

Ahadku di Pasir Mendit


Bismillahirrahmaanirrahiim

“Saat tumbuhan telah berjuang membantu kita, sedang kini mereka tersungkur dalam lumpur. Akankah kita hanya diam saja ?”

 
Foto oleh IBE 2013


Ahad, 29 Maret 2015 dua rombongan bus berangkat dari FMIPA UNY menuju kawasan mangrove Pasir Mendit Kulonprogo. Meski hampir semua teman-teman saya menggunakan bus sebagai transportasi menuju lokasi, bersama para Herbif (sebutan untuk anggota Kelompok Studi Herbiforus FMIPA UNY), saya memutuskan untuk mengendarai motor sendiri. Bukan karena kami enggan naik bus, melainkan pada hari Ahad kemarin sebenarnya bukan satu acara yang sama. Program studi Pendidikan Biologi UNY kelas I (IBE 2013) dan C (Pebioceae 2013) melaksanakan praktikum lapangan Ilmu Lingkungan bersama Prof. IGP Suryadharma sedangkan para Herbif melaksanakan sulam mangrove karena beberapa mangrove yang ditanam tahun lalu ambruk.

Sesampainya dilokasi, kami istirahat sejenak disalah satu rumah warga yang sekaligus menjadi basecamp teman-teman Kanopi Indonesia jika melaksanakan kegiatan tanam mangrove. Tanpa saya sadari, Pak Putu (panggilan kami pada Prof. IGP Suryadharma) tiba-tiba menarik saya dan mengajak untuk mengambil beberapa buah pohon Ketapang yang sudah jatuh dan beberapa kulitnya dimakan hewan. Beliau menjelaskan, buah ketapang selain menjadi makanan untuk hewan, juga dapat menjadi makanan untuk manusia. Beliau pun mempraktikan memakan daging buah ketapang yang berukuran kecil dan berwarna putih itu. Selain dapat dimakan, bagian buah ketapang yang keras, yaitu tempurung yang melindungi daging buah dapat dimanfaatkan sebagai briket.

Setelah kuliah VIP (berdiskusi hanya antara saya dengan Pak Putu :D ), beliau mengajak saya kehalaman depan rumah untuk materi klasikal. Beliau hanya menyampaikan dengan singkat, yang intinya kami diminta untuk mengamati apa yang ada di kawasan Pasir Mendit yang dapat dimanfaatkan secara lebih baik dalam hal ekonomi, edukasi, ataupun sosial. Setelah itu, beliau meminta kami untuk membantu para Herbif menyulam mangrove.

Sebagai Herbif, saya agak canggung dengan teman-teman kelas saya dan kelas C, karena sebenarnya mereka datang kuliah dengan Pak Putu, bukan untuk berkotor-kotor membantu kami menyulam mangrove. But, it’s not a problem. Karena dengan ikut menyulam, mereka bisa lebih mengenal lingkungan, hehe...

Kegiatan menyulam mangrove berada diseberang sungai yang cukup dalam, sehingga kami menggunakan perahu untuk menyebrang. Sebenarnya bukan “kami” yang menggunakan perahu, karena pada kenyataannya saya sama Afrizal (Biologi E UNY 2013) merelakan diri berbasah-basahan untuk membantu teman-teman yang menaiki perahu, tapi tak mengapa, jadikan ibadah untuk memperbanyak pahala mumpung roh masih menyatu dengan raga, :D . Toh kami juga tidak hanya berdua, Pak Putu meskipun sebagai seorang Guru Besar UNY juga membantu kami dalam mendorong perahu. Kalau kata beliau sesuatu seperti kemarin menjadi the another story....
Foto oleh Nilam Cahya N/IBE 2013

Sesampainya disebrang sungai, kami tidak langsung menyulam mangrove. Butuh perjalanan kurang lebih 150 meter menuju lokasi penyulaman. Melihat kondisi lokasi penyulaman, ternyata banyak mangrove yang roboh dan beberapa sampah. Kami pun bersegera menegakkan mangrove-mangrove yang roboh dan mengganti yang mati. Pada saat penyulaman ada satu kegiatan yang menarik menurut saya yang berhasil terpotret. Terlihat kostum saya berwarna hijau dan diatas topi saya terlihat seperti ada bibit mangrove yang “tumbuh”. :D
timer photo

Oke, seratus bibit mangrove sukses kami tanam siang itu. Tinggal besok memaksimalkan komunikasi untuk pemantauan dengan pihak desa Jangkaran, Pasir Mendit.

Selepas menyulam mangrove, kesempatan untuk bermain di Pantai Pasir Mendit tak kami lewatkan. Namun sayang, ada beberapa sisi pantai yang justru membuat sedih. Sampah-sampah berserakan. Dari ukuran dan jenis sampah (seperti kayu-kayu besar dan plastik-plastik), spekulasi kami sampah-sampah itu jelas tidak dibuang secara “sengaja” diarea pantai. Melainkan sampah-sampah yang dibuang disungai yang kita ketahui bersama sungai bermuara ke laut.

Diantara sampah-sampah yang berserakan, kami tetap melihat keindahan. Ya, fauna dan flora diarea Pantai Pasir Mendit dapat kami nikmati keelokannya. Hampir sepanjang pantai, para Spinifex membentuk barisan bak blokade pertahanan yang menahan gundukan pasir dari gerusan ombak laut. Tak mau ketinggalan menawarkan kecantikannya, kepiting-kepiting pantai berlarian menjauhi ombak yang mengejar mereka.
Salah satu jenis kepiting pantai
Salah satu sisi pantai dengan Spinifex


MasyaAllah, sungguh nikmat siang itu. Lelah tak terlalu terasa, karena keindahan ciptaan Sang Pencipta menjadi penawarnya. Kami percaya, Dia menciptakan sesuatu termasuk pantai bersama komponen pendukung ekosistem didalamnya, penuh dengan pembelajaran untuk kita sebagai manusia. Belajar dari sulam mangrove, saya semakin yakin, makhluk ciptaanNya sama-sama membutuhkan. Mangrove membutuhkan kita untuk ditegakkan kala dia tersungkur dalam lumpur, dan kita sebagai manusia (terlebih yang tinggal dipesisir) membutuhkan mangrove untuk menjaga area dari abrasi.

Ahad di Pasir Mendit pun saya tutup dengan perjalanan pulang bersama para Herbif.
Perjalanan pulang melewati tambak udang


 Terimakasih untuk Herbiforus, IBE 2013, dan Pebioceae 2013. Bersama, kita luar biasa. :D



Diselasaikan di sekre Bionic tercinta,

Sabtu, 29 Jumadil Akhir 1436 H / 18 April 2015 M.

Salam dari saya,


-aLr-

Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda