Masih
teringat jelas malam itu, malam hari di Kinahrejo bagai permainan. Permainan
mencari para pejuang sekeripsi.
“Ya,
di pendopo dekat Mbah Marijan.” Kurang lebih itu pesan dari seorang pejuang sekeripsi
I, sebut saja Nurrohman Eko Purnomo. Dan sesampaiku di petilasan Mbah Marijan,
hanya bangunan-bangunan seakan kota mati dalam kegelapan. Dalam benak,
kubergumam “Mas EP jangan ngerjainnnnnnn” dan sesaat sebuah pesan darinya masuk
dibatangan logam bermerk Nokia itu, “Yono dimana ? Hati-hati dijalan, tadi
sepanjang jalan sudah sepi ngak ada orang.”
Dalam
heningnya petilasan Mbah Marijan aku kembali bergumam, “Lha menurutmu dimana
Mas ? Jan, aku sudah diatas. Gelap. Apa jangan-jangan mas EP masih dibawah ?”
Lantas kuputuskan untuk segera meninggalkan petilasan itu karena dengan
sejujurnya aku ngak mau berteman dengannya (petilasan) dalam kesepian.....
Dan
sebelum masuk jalan beraspal, entah, seakan mendapat bisikan, aku malah
memutuskan untuk naik menuju puncak Kinah, dan sekitar 5 meter baru memulai
perjalanan naik aku melihat cahaya putih disebuah pendopo. And finally,
aku menemukan mereka. Pejuang Sekeripsi yang sedang ngecamp dengan dua tenda
doom.
Setelah
kuparkirkan motor, kusapa Pejuang Sekeripsi II dan III, panggil saja Arrellea
Revina Dewi dan Eky Rakhmawati. Malam itu obrolan dengan mereka sengaja tak aku
panjangkan, karena tubuh sudah lelah dengan aktivitas hari itu. 1 Mei 2015 pagi
hingga sore melakukan kuliah lapangan di Kinahrejo, lantas turun menuju kota
Jogja, dan malamnya sudah naik lagi menuju Kinah. Ya tidur menjadi tujuan untuk
memberikan haknya tubuh ini.
Sekitar
pukul tiga pagi, bola mata ini mulai melihat masih gelapnya malam dan telinga
ini mendengar ribuan tetesan air hujan yang turun sebagai wujud rahmat dari
Allah ‘azza wa jalla. Kumelihat kearah samping, kawan seperjuanganku, Andri Hoho,
yang turut membantu Pejuang Sekeripsi masih tertidur pulas. Dan kumencoba
mendengar dalam hujan, belum kujumpai suara Pak Kabid PA (Pemberdayaan Anggota)
KPB Bionic UNY, Mas Hasbi, ternyata dia memang masih terlelap. Hanya suara
hujan dan lonceng kecil si Digo, anjingnya Pak Narto (pemilik petilasan yang
kami gunakan), yang aku dengarkan.
Bersyukur
hati ini dalam masa penantian pagi hari, suara adzan terdengar. Adzan shubuh
dari masjid yang agak jauh dari tempat kami bermalam. Dinginnya air tak membuat
kami bertayamum untuk melaksanakan sholat shubuh. Bergantian shift. Itulah yang
kami lakukan untuk mencegah Digo menuju area paling suci menurut kami untuk
melaksanakan ibadah wajib itu. Sebenarnya betul-betul risih saat harus berada
satu tempat dengan anjing meskipun doom sudah memisahkan kami dengannya. Tapi
bagaimana lagi, itulah petilasan yang sudah kami kantongi izinnya untuk
bermalam, dan si Digo memang tak bisa diusir, karena statusnya sebagai Penjaga
Rumah, dan kami hanya sebagai tamu. Hanya berharap ampunan dari Allah jika kami
tanpa sengaja tersentuh oleh si Digo.
Setelah
sholat, persiapan packing menuju puncak kami lakukan meskipun langit belum
menunjukan tanda-tandanya akan reda. Nasi putih dan mie goreng yang sudah
dimasak Pejuang Sekeripsi III sebelum shubuh menjadi material yang mengawali
pertemanan dengan perut lapar kami. Meski sederhana, tetap bersyukur itulah
yang pasti.
Atas
izin dari Allah, sekitar pukul enam pagi hujan reda. Meskipun cahaya matahari
masih terhalang oleh awan, kami memutuskan untuk memulai perjalanan. Dalam
dinginnya Kinah, kami melangkah.
Jalanan
berpasir menunjukan kami sudah memasuki jalur pendakian Gunung Merapi via
Kinah. Sesajen-sesajen yang sudah bertransformasi menjadi makanan era 2015
menunjukan kami berada dijalur yang sama dengan jalur saat acara labuhan.
Sesajen yang kami temui membuat aku tertawa kecil, dalam pikiranku sesajen ya
biasa kaya yang pernah aku temui didesa dulu, melati, dupa, mawar, kanthil, dan
beberapa bunga lain. Tapi yang aku lihat tanggal 2 Mei 2015 itu layaknya
sesajen biasa hanya saja ketambahan pilus, snack ringan, kelapa muda, dan
rokok. Hmmmm, sudah mengikuti era 2015 kan ? Untuk yang diberi sesajen berupa
rokok, dibaca dulu ya, “Merokok Membunuhmu”. :D
Tarikan
napas menjadi semakin berat. Menunjukan kami pasti sudah berjalan semakin
tinggi.
Bebarapa suara burung pun sudah semakin sering bersahut-sahutan.
Pejuang Sekeripsi II yang meneliti keanekaragaman burung ternyata sudah mulai
mengerakkan penanya, mencatat burung yang terlihat. Sambil mengamati keadaan
sekitar jalur pendakian, perjalanan tetap kami lanjutkan. Hingga gapura pos 1
menjadi bangunan yang seakan dalam diamnya mereka menyambut kedatangan kami.
Mereka, Srimenganti yang menanti kami.
Beberapa bukit disekitar Gunung Merapi |
Istirahat
sejenak yang kami lakukan. Sambil menikmati indahnya alam ciptaan Allah, Rabb
semesta alam, tak terasa burung Takur api (Psilopogon pyrolophus)
bertengger diatas pohon mati dengan suaranya yang membuat diri ini terkagum.
Tak kusangka, suaranya malah mirip tonggeret yang sangat berisik. Setelah
kubuka buku Panduan Lapangan karya MacKinnon, ternyata si burung Takur api
endemik Sumatera. Bagaimana mungkin dia bisa di Merapi yang notebene termasuk
gunung di Jawa ? Sungguh, dalam keberadaannya ada dalam ayatNya. Mungkin dia
memang terbang dari Sumatera menuju Jawa. Siapa yang bisa menahannya ?
“Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang
mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang
menahannya (di udara) selain Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia (Alloh) Maha
Melihat segala sesuatu”
–Al-Mulk:19-
Selain Takur api (Psilopogon
pyrolophus), dua ekor Gelatik-batu kelabu (Parus
major) dengan suaranya yang merdu menjadi nyanyian indah yang menemani
istirahat kami. MasyaAllah, Allahu akbar.
Perjalanan kami lanjutkan, karena ketinggian 2000 mdpl belum
terinjak oleh kaki kecil kami. Gerimis akhirnya turun menjadi kawan dalam
perjalanan, tapi bukan kawan yang menghentikan langkah. Kami tetap bersemangat
naik menuju area yang terutama menjadi tujuan Pejuang Sekeripsi I, ketingggian
2000 mdpl, habitat burung Anis gunung (Turdus poliocephalus). Dalam
perjalanan yang menjadi cukup licin, Pejuang Sekeripsi III berhenti. Ia
mendengar apa yang ia cari. Ia berhenti melihat area sekitar. Mengeluarkan
gulungan merah muda. Gulungan tali rafia yang akan menjadi batas plot.
Karakteristik habitat burung Ceret jawa (Locustella montis), adalah
penelitian si Pejuang Sekeripsi III. Sehingga jenis-jenis tanaman dalam plot
menjadi data yang harus dikumpulkan selain karakteristik dari faktor abiotik
yang ada. Dalam penantian penyelesaian pengambilan data, tak terasa diri ini
tertidur diatas rerumputan yang mengering, ya tak mengapa kan nikmat dipagi
hari,,,,,
Setelah si Pejuang Sekeripsi III menyelesaikan tugasnya pagi itu,
perjalanan kami lanjutkan menuju batas akhir vegetasi. Sesampainya di Rudal
(Pos 2), kurang lebih pada ketinggian 1.800 mdpl, kami istirahat, harapannya
hanya sejenak. Namun, kami salah. Hujan tak kunjung reda, malah semakin deras.
Dan Pejuang Sekeripsi I selaku amir perjalanan memutuskan untuk
mengakhiri perjalanan meskipun tujuannya tak bisa didapatkan hari itu.
Turun menuju petilasan bukan menjadi perjalanan yang mudah
ternyata, karena beberapa orang dari kami sering terjatuh akibat licinnya
jalan. Segarnya siang itu, pohon-pohon seakan bersuka cita mendapat curahan
hujan dari Rabb mereka, Rabb kita semua. Terlihat lepidoptera membentangkan
sayapnya yang mungkin tadi basah karena hujan. Sepasang coleoptera juga
terlihat bermesraan diatas hijaunya daun. Sungguh indah hutan Kinah siang itu.
Pascahujan, mereka tersenyum. Pascahujan, mereka bersyukur.
Coleoptera, doc pribadi |
Lepidoptera, doc pribadi |
Tak terasa, kaki sudah menginjak jalanan beraspal kembali. Alhamdulillah. Keluar dari hutan dengan selamat. Langsung saja tanpa mompar mampir (soalnya gag ada warung yang buka juga :D ) kami menuju petilasan. Senyuman sederhana dari sepasang suami istri, Pak Narto dan Ibu Narto menyambut kami. Obrolan antara Pejuang Sekeripsi I dengan Pak Narto pun dimulai. Sementara kami, langsung saja bersih-bersih dan melipat doom. Jam sudah menunjukan waktu sholat dhuhur, dan kami pun juga sudah selesai beres-beres. Tapi, perut tak bisa diajak kompromi. Rasa lapar tengah hari datang, nasi mie dan sedikit kering tempe yang sengaja kami sisihkan untuk siang, kami lahap dengan awalan basmallah. Makanan yang sederhana, tapi saat dimakan dalam kebersamaan selepas perjuangan memang terasa nikmat. Singkat cerita, perjalanan kami berakhir dalam sepinya siang di Cangkringan, dalam nikmatnya ibadah sholat dhuhur berjamaah dimasjid tepi jalan.
Masih menunggu perjalanan yang lain, bersama pejuang yang lain
pula. Semoga jasad ini masih diberi kekuatan untuk melangkah, menjelajahi alam
Indonesia yang aku yakin banyak sekali keindahan yang belum tereksplor
oleh warga dunia. Dan dalam perjalanan, aku harap rasa kepedulian pada alam
masih tumbuh dalam jiwa, karena “Kepedulian dihari ini, kelestarian dimasa
depan.” J
Gunung Merapi, foto dari Kinahrejo |
Note : Daftar burung yang berhasil saya amati pada pengamatan di
Gunung Merapi via Kinahrejo bisa dilihat disini.
Diselesaikan di Sekretariat KPB Bionic UNY
Adzan ‘Asar, Sabtu, 19 Sya’ban 1436 H / 06 Juni 2015 M.
Salam dari saya,
-aLr-
Comments
Post a Comment