Skip to main content

Capung-batu merah-jambu (Rhinocypha fenestrata fenestrata)

Capung-batu merah-jambu jantan
(
Rhinocypha fenestrata fenestrata),
foto oleh Rahmadiyono Widodo
Capung-batu merah-jambu jantan (Rhinocypha fenestrata fenestrata) di daerah aliran sungai Gajah Wong Yogyakarta mudah untuk dijumpai pada musim kemarau. Seperti yang terlihat pada foto diatas, capung-batu merah-jambu jantan (Rhinocypha fenestrata fenestrata) mempunyai mata majemuk berwarna hitam dan sinthoraks berwarna hitam dengan warna biru pada sisi samping dan warna merah muda pada sisi atas. Rahadi (2013) dalam buku Naga Terbang Wendit menyebutkan warna sayap capung-batu merah-jambu jantan (Rhinocypha fenestrata fenestrata) adalah hitam dengan pangkal sayap berwarna coklat.

Capung-batu merah-jambu (Rhinocypha fenestrata fenestrata) mempunyai kebiasaan hinggap diranting dekat perairan dan sensitif terhadap kehadiran manusia (Rahadi, 2013). Akan tetapi, saat pengamatan di daerah aliran sungai Gajah Wong Yogyakarta, capung-batu merah-jambu jantan (Rhinocypha fenestrata fenestrata) tidak terlalu sensitif dengan kehadiran manusia bahkan ketika didokumentasikan menggunakan pocket camera dengan jarak sekitar 10 cm dari tubuhnya, dia tidak terbang meninggalkan lokasi hinggapnya yang berada diatas tumpukan sampah di tepi sungai.

Capung-batu merah-jambu (Rhinocypha fenestrata fenestrata) mempunyai habitat didaerah aliran air yang jernih (Rahadi, 2013), tetapi di lapangan ada pula yang dapat dijumpai di tepi aliran sungai yang sedikit keruh seperti di daerah aliran sungai Gajah Wong Yogyakarta. Capung-batu merah-jambu (Rhinocypha fenestrata fenestrata) distribusinya terbatas di pulau Jawa (Steinmann, 1997).

Di alam, selain sebagai komponen rantai makanan, capung-batu merah-jambu (Rhinocypha fenestrata fenestrata) juga bermanfaat sebagai bioindikator dari suatu perairan.



Daftar Pustaka :

Rahadi, W. S., B. Feriwibisono, M. P. Nugrahani, B. Putri I. D., T. Makitan. 2013. Naga Terbang Wendit : Keanekaragaman Capung Perairan Wendit, Malang, Jawa Timur.  Malang : Indonesia Dragonfly Society. diakses melalui http://ksb.ub.ac.id/blog/2014/02/07/capungbatu-merahjambu-rhinocypha-fenestrata/ pada tanggal 14 Januari 2015 11.46 WIB.

Steinmann, Henrik. 1997. World Cataloque of Odonata: Volume 1 Zygoptera. New York : Walter de Gruyter.

Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda