Skip to main content

Senja bersama D14

Lab Kimia, difoto dari lab Biologi

Suasana menjadi semakin sepi. Pendingin ruangan juga mulai dimatikan, saat saya tengok jam pada laptop, 15.42 WIB, pertanda 18 menit lagi perpustakaan akan ditutup oleh Mbak Putri. Mulai saya berkemas, mematikan laptop dan memasukkan kedalam tas. Seperti biasa, saya menjadi yang keluar dua terakhir dari ruangan dalam beberapa hari terakhir ini. Ok, selanjutnya apa? Langsung pulang? Tentu tidak. Sore hari yang cerah di laboratorium biologi adalah salah satu suasana yang tidak boleh dilewatkan begitu saja, tentu ini berlaku untuk saya. Suasana lab yang sepi karena hampir semua mahasiswa sudah pulang, cerahnya sinar matahari sore, dan ditambah lambaian dedauan membuat harmoni yang memunculkan rasa nyaman. Semakin menambah nyaman kala para kukila memainkan pita suara mereka. Saya melihat batang pohon beringin (Ficus benjamina) yang lebih rendah dari saya, seekor burung yang jarang saya jumpai bertengger di pepohonan muncul tanpa rasa malu meskipun bertatapan dengan saya cukup lama. Dia, burung tekukur biasa (Spilopelia chinensis). Burung yang mempunyai nama Jawa “Derkuku” ini lebih sering saya jumpai di permukaan tanah yang cukup luas, misalnya tanah lapang atau bekas tambak, tak heran burung ini sering disebut sebagai kelompok merpati tanah. Sore ini saya menjumpainya bertengger di batang pohon, pemandangan yang menarik. Diam cukup lama, ternyata dia sebenarnya menunggu momen yang aman untuk turun ke tanah. Dengan kepakan yang khas burung merpati, dia sudah berpindah diatas permukaan tanah dan berjalan mencari makan.

Burung tekukur biasa

Pandangan saya alihkan pada percabangan batang yang lebih kecil. Terlihat burung seukuran merbah cerucuk (Pycnonotus goiavier) atau burung trocokan dalam istilah Jawa sedang asyik menelisik bulunya. Meski hanya terlihat siluet atau bayangan hitamnya, saya langsung dapat mengenalinya dari jambulnya. Yap, tentu saja, dia adalah saudara satu famili satu marga dari burung merbah, yaitu burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster). Burung satu ini termasuk burung yang sering kami cuekin kalau pengamatan burung, ada beberapa alasan, menurut saya paling tidak ada dua, yaitu pertama karena cucak kutilang memiliki populasi yang besar dan tersebar luas dari dataran rendah hingga hampir puncak gunung sehingga sering kami lihat, dan yang kedua (yang ini alasan sering membuat kami kesal -_-) adalah karena dia sering menjadi burung “tipu-tipu”, ekspektasi yang kami lihat dari kejauhan adalah burung X atau Y bahkan Z, ternyata setelah diamati dengan binokular atau difoto menggunakan kamera ternyata dia, iya ternyata dia si cucak kutilang T_T. Tapi meskipun demikian, saya tetap ada rasa senang saat melihatnya bisa terbang di alam bebas, terbang dengan indah dan memainkan perannya dalam ekosistem sebagai pemencar biji tumbuhan.

Burung cucak kutilang

Bayangan hitam berukuran lebih kecil dari burung emprit (bondol jawa (ind), Lonchura leucogastroides) bergerak dengan gesit. Ternyata itu adalah burung cinenen. Agak ragu bisa memotretnya karena dia sangat lincah, tapi saya tetap mencoba membidik dengan kamera kecil saya. Foto pertama siluet, foto kedua blur, dan foto ketiga, alhamdulillah, dia hinggap di ranting yang terpapar sinar sehingga saya dapat mengambil gambarnya dengan cukup baik. Meskipun bukanlah foto yang jelas amat, setidaknya cukup untuk dapat mengidentifikasi jika dia adalah cinenen jawa (Orthotomus sepium). Warna merah karat yang menyapu hingga bagian pipi, perut berwarna kuning dengan sedikit sapuan hitam pada dada menjadi kunci identifikasi yang saya sematkan padanya. Burung ini termasuk kelompok Tailor Bird atau Burung Penjahit. Sesuai namanya, dia dan teman-teman orthotomus yang lain mempunyai cara membuat sarang yang unik, yaitu dengan cara menjahit daun. Layaknya manusia yang menjahit dengan jarum dan benang, dia pun hampir sama. Burung cinenen menggunakan paruhnya yang cukup panjang dan meruncing untuk membuat lubang pada daun. Sambil melubangi, ujung paruhnya juga “menjepit” jaring laba-laba yang memiliki fungsi layaknya benang yaitu untuk menyatukan sisi-sisi daun. Sangat menarik bukan?

Burung berwarna hitam juga bergerak pada ranting yang lain. Kali ini bukan cinenen, tapi artis sore ini. Bergerak dengan lincah, lompat dari ranting ke ranting sambil berkicau, saya langsung mengenalinya, apalagi saat ekornya direntangkan layaknya kipas, tidak salah lagi, burung kipasan belang (Rhipidura javanica). Burung ini adalah satunya-satunya anggota marga rhipidura yang dapat dijumpai di UNY sampai saat ini. Burung ini merupakan pemakan serangga. Kehadirannya untuk mencari makan disekitar pohon beringin sejatinya sudah saya perhatikan sejak beberapa hari yang lalu, tapi baru hari ini saya berkesempatan membawa kamera dan berhasil membingkainya dengan lensa meskipun dengan kualitas foto apa adanya. Sore yang cerah menjadi lebih syahdu kala dia berkicau, semoga saja besok lagi saya dapat menikmati kicauannya. Kicauannya yang merdu membuatnya menjadi salah satu burung yang sering ditangkap dan diperjualbelikan, meskipun UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999 telah memasukkannya dalam daftar burung dilindungi. Ah, semoga tetap lestari.  
Burung kipasan belang

Sore ini saya juga menyempatkan untuk naik ke lantai tiga, berharap melihat burung yang lebih dekat layaknya dulu saya bisa melihat sarang burung cabai jawa (Dicaheum trochileum) kurang lebih hanya 2,5 meter. Tapi sore ini saya zonk, dari lantai tiga ternyata sepi. Hanya terlihat burung punai gading (Treron vernans) yang terbang mungkin karena mengetahui kehadiran saya. Sepasang bondol jawa pun juga terbang setelah melihat jika saya mengambil gambarnya. Dirasa tidak ada burung yang bisa diamati, saya memutuskan untuk turun, dan pulang.

Oya, dari lantai dua lab biologi ini saya juga dapat melihat laboratorium jurusan yang lain. Matematika di sisi kanan, Fisika berhadapan, dan Kimia di sisi kiri. Sesaat melihat gedung lab Kimia bertuliskan D14. Baru sadar kalau dilihat-lihat seperti membentuk kata DIA. Memori ini pun kembali teringat awal perkuliahan dulu, laboratorium biologi menjadi tempat pertama berjumpa dengan dia saat pertama kali kelas praktikum dimulai. Apa kabarnya?


---
Kamar Kos, bersama bulan sabit hari ke-4 Rajab.
Rahmadiyono.

Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda