Skip to main content

Merindu MPD



Bismillah.

Lantunan Al Quran masih terdengar dikala mentari mulai meninggi. Semangat orang di masjid ini seakan tak luntur meski Ramadan telah memasuki hari ke-28nya. Sejak hari pertama Ramadan saya jalani di masjid ini, baru shubuh ini mendengar kalimat “shaf sholat semakin maju”, pertanda jamaahnya mulai “sepi”. Namun, jika dibanding dengan jamaah di kampung saya, tentu jamaah di sini masih sangat lebih banyak. Sepinya masjid ini masih menyentuh angka 450 orang untuk jamaah sholat tahajud di 1/3 terakhir Ramadan. Ini bukan jumlah ketika malam 27 kemarin yang masya Allah ramainya.

Pagi ini memang terasa lebih sepi, banyak jamaah yang mulai pergi untuk mudik ke kampung halaman masing-masing. Mudik sembari menyimpan rindu dan harap untuk bisa kembali ke masjid ini. Masjid ini memang terkenal membekaskan rindu pada hati jamaahnya yang notabene para mahasiswa dari UGM, UNY, maupun kampus-kampus lain di Yogyakarta. Pernah menunjukkan foto masjid ini kepada seorang kawan yang sekarang mencari nafkah di dekat ibu kota, langsung saja dia berkisah tentang dirinya dan masjid ini pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan dia sampai hapal materi kajian menjelang berbuka. Pernah pula ketemu seorang anak kedokteran dari UMY, Ramadan tahun ini di 20 hari pertama ia melaju dari UMY ke masjid ini untuk bisa sholat tarawih berjamaah di sini. Ia menceritakan saat tahun lalu mudik ke kampung, perasaan untuk kembali ke sini begitu membuncah, teramat rindu untuk segera kembali. 

Pak RW kita yang masih semangat tadarus


Rindu akan masjid ini tentu bukan tanpa sebab. Tiap orang punya kesan masing-masing dengan masjid ini. Ada yang merindu dengan suara imam sholat yang merdu. Ada yang merindu dengan majelis ilmu yang sepekannya bisa lebih dari tujuh kali. Ada yang merindu dengan sahabat-sahabat sholihnya. Mungkin semuanya bermuara pada hal yang sama, merindu dengan suasana mudahnya beramal sholih di sini dan majelis-majelis ilmu yang ilmiah. Di masjid ini bisa kita dapati banyak orang berlomba dengan amal sholihnya masing-masing, tak hanya bagi yang muda, tapi bagi mereka yang sudah sepuh dan anak-anak pula. Ramadan ini semangat perlombaan itu begitu terlihat. Ada yang berlomba untuk memenuhi majelis-majelis ilmu tiap sore dan sholat tarawih tiap malam. Ada pula yang berlomba dengan hartanya, memberikan infaq terbaik untuk masjid ini. Kemarin membuka donasi untuk AC masjid, dalam semalam saja yang masuk ke rekening masjid puluhan juta rupiah. Di masjid ini kita bisa mendapati orang-orang yang beramal pula dengan amalan yang mungkin sebagian kita tidak terpikir sebelumnya. Ada yang beramal dengan membagi minyak wangi kepada jamaah lainnya, melayani jamaah yang bertadarus dengan mengambilkan kopi atau teh, anak-anak berkeliling membagikan kurma, memijat pundak jamaah yang mulai terlihat lelah, ada pula yang malam-malam datang memberikan roti untuk jamaah. Masya Allah.... 

Banyak yang berharap bisa kembali lagi ke sini. Bisa merasakan Ramadan di masjid ini lagi. Dan bagi kita yang masih di sini, semoga bisa dimudahkan untuk memanfaatkan kebersamaan bersamanya dengan menghiasi setiap hari dengan amalan sholih. Aamiin.



Masjid Pogung Dalangan, pagi hari 28 Ramadan 1440 H.


Rahmadiyono.

Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda