Dalam hidup manusia, terkadang rasa yang dialaminya didukung oleh semesta.
Kala hati berbunga-bunga, langit seakan mendukung dengan birunya, mentari dengan cerahnya, burung dengan kicauannya, bahkan lebah dengan tariannya.
Pernah mengalami yang demikian?
Atau justru semesta mendukung saat kita berada pada perpaduan kemurungan dan kesedihan?
Kala malam hati tengah gundah, keluarga jauh berbeda daerah, dan kawan baik diperantauan perlahan menjauh, pergi satu persatu. Semesta mendukung dengan kelabunya awan yang menggantung lalu menyapa dini hari dengan gerimis yang tak lagi syahdu. Pagi pun menyembunyikan mentari, genangan air di halaman sekolah pun seakan menampilkan pantulan mereka yang tengah dirindukan.
Aku harap kau tak mengalami rasa yang kedua, apalagi didukung oleh semesta. Kalau pun harus merasakannya, moga sehatnya raga tak kau korbankan juga.
Sejatinya ini bukan tentang rasa dan semesta, tapi tentang rasa dan kita.
Kita memang menjadi objek untuk ditumbuhkannya rasa, Allah azza wa jalla berfirman, yang artinya: dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis (QS. An Najm: 43). Tapi kita juga menjadi subjek mengatur rasa, memilih senang atau sedih. Memilih terbuai dengan kesenangan, larut dalam kesedihan, atau senang dan sedih sewajarnya.
Bersama langit yang menurunkan hujan, kita bisa memilih untuk bertahan dalam kesedihan atau tersenyum sambil menghirup petrikor dalam kesunyian.
Kala hati berbunga-bunga, langit seakan mendukung dengan birunya, mentari dengan cerahnya, burung dengan kicauannya, bahkan lebah dengan tariannya.
Pernah mengalami yang demikian?
Atau justru semesta mendukung saat kita berada pada perpaduan kemurungan dan kesedihan?
Kala malam hati tengah gundah, keluarga jauh berbeda daerah, dan kawan baik diperantauan perlahan menjauh, pergi satu persatu. Semesta mendukung dengan kelabunya awan yang menggantung lalu menyapa dini hari dengan gerimis yang tak lagi syahdu. Pagi pun menyembunyikan mentari, genangan air di halaman sekolah pun seakan menampilkan pantulan mereka yang tengah dirindukan.
Aku harap kau tak mengalami rasa yang kedua, apalagi didukung oleh semesta. Kalau pun harus merasakannya, moga sehatnya raga tak kau korbankan juga.
Sejatinya ini bukan tentang rasa dan semesta, tapi tentang rasa dan kita.
Kita memang menjadi objek untuk ditumbuhkannya rasa, Allah azza wa jalla berfirman, yang artinya: dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis (QS. An Najm: 43). Tapi kita juga menjadi subjek mengatur rasa, memilih senang atau sedih. Memilih terbuai dengan kesenangan, larut dalam kesedihan, atau senang dan sedih sewajarnya.
Bersama langit yang menurunkan hujan, kita bisa memilih untuk bertahan dalam kesedihan atau tersenyum sambil menghirup petrikor dalam kesunyian.
dok pribadi |
Sleman, 26 Dzulhijjah 1440/ 26-08-2019
Comments
Post a Comment