Skip to main content

Yang Sering Dilupakan



Udara terasa sejuk. Mentari pun belum terlihat meninggi kala saya pulang dari bandara setelah mengantar Yuda. Melaju dengan tidak terlalu cepat, Pogung langsung menjadi tujuan saya. Sabtu lalu, ada jadwal bersama kawan yang lain untuk menghadiri suatu acara. Sesampainya saya pada acara di Pogung Rejo, bertemulah saya dengan sosok yang baru kali pertama saya berjumpa dengan beliau. Teman-teman memanggil sosok berkacamata ini, Ustadz Ibnu Sutopo.

Pada acara yang berlangsung hampir 1,5 jam ini, Ustadz Ibnu Sutopo (hafidzahullah) memberikan beberapa wejangan untuk kami. Salah satunya tentang teman-teman di kelas. Beliau menyampaikan, yang intinya:

Teman di kelas itu kalau sakit jasadnya, kita langsung peduli (dengan menanyakan kabar, atau menjenguk). Tapi, kalau ada teman yang sakit hatinya, kenapa kita seringkali tidak peduli? Padahal baik sakit pada jasad maupun hati, sama-sama dapat berujung kematian.

Saat di dalam kelas kita ada murid yang sakit hatinya (malas belajar), maka sejatinya itu dapat berujung pada kematian proses belajarnya -meninggalkan kelas, menjauh dari ilmu. Yang disayangkan adalah, saat ada murid seperti itu, seringkali kita jumpai teman-temannya (atau malah diri kita sendiri) hanya mendiamkan, tidak menyemangatinya untuk belajar kembali. Akibatnya si murid yang sakit hatinya itu justru akan semakin menjauh dari ekosistem kelas. Dan akhirnya menghilang. Putus di jalan.

Beliau berpesan; “Selayaknya saat ada teman kita yang tengah sakit hatinya, kita menanyakan kabarnya, menyemangatinya, mengajaknya untuk kembali belajar.”

Wejangan-wejangan pada bagian akhir tersebut membuat saya teringat dengan guru saya, Mas Ustadz Muhammad Iqbal (hafidzahullah). Kenapa dipanggil mas ustadz? Ya karena ada panggilan pak ustadz, jadi sepertinya tidak mengapa jika saya menggunakan mas ustadz (koreksi ya kalau ternyata salah), hehe, maklum, usia beliau hanya satu tahun di atas saya. Beliau termasuk sosok yang peduli terhadap muridnya, mengajari untuk peduli pada sesama murid. Saat ada yang tidak masuk, ditanyakan, kemudian disemangati untuk kembali masuk. Alhasil, kelas bersama beliau adalah salah satu kelas paling menyenangkan yang pernah saya ikuti. Saya juga yakin, teman-teman saya juga merasakan hal yang sama. Karena memang begitulah efek dari empati.


Dalam satu kelas, kehadiran tiap murid di dalamnya itu sungguh berarti. Saat ada yang memunculkan sinyal-sinyal hati yang sakit, menyegerakan untuk merespon itu suatu kebaikan. Memberi perhatian, menganggapnya ada. Teman kita itu bukan burung-gereja, yang ada atau tidak ada dirinya terkesan sama saja.

burung-gereja erasia (Passer montanus). dok pribadi







14 Muharram 1441// 14-09-2019
Pagi di kamar kos,


Rahmadiyono.
*)septemBercerita sabtu 07 yang lalu...

Comments

Popular posts from this blog

Jantan Betina yang Terlihat Sama

Burung secara umum memiliki morfologik yang berbeda antara jantan dengan betina. Pengamat burung sering menyebut “yang jantan itu lebih cantik”, hehe. Argumen tersebut muncul bukan karena sebab, karena secara umum burung jantan memang mempunyai bulu yang lebih berwarna-warni, lebih menarik intinya. Salah satu fungsi dari bulu yang lebih berwarna pada jantan adalah untuk menarik perhatian betina ketika memasuki masa breeding atau berkembang biak. Istilah perbedaan morfologik tersebut disebut dimorfisme (“di” menunjukkan dua, morf: morfologik/bentuk luar). Akan tetapi, terdapat pula jenis-jenis burung yang mempunyai morfologik yang mirip antara jantan dan betina atau akrab disebut monomorfisme. Jenis burung yang masuk dalam kelompok monomorfisme membuat pengamat burung kesulitan untuk mengidentifikasi mana jantan dan mana betinanya. Burung pijantung kecil. Foto oleh Radhitya Anjar. Kiri betina, kanan jantan. Saat kita mengamati burung monomorfisme dengan cara biasa (hanya

Dia yang Teguh, Dia yang Tumbuh

Pappermint from Abu Nabat Afrizal Haris, dok pribadi. Pekan lalu sembari menikmati sore di sekolahan, mencoba berselancar di dunia maya mencari sesuatu yang barangkali dapat menambah semangat saya. Pencarian membawa saya pada channel YouTube Al Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafidzahullah.  Saya pribadi sebenarnya sangat jarang mengikuti kajian beliau secara daring, hanya beberapa kali melihat postingannya Irfan (teman di kampus) yang isinya ceramah singkat beliau.   Melihat beberapa judul video pendek yang menarik, saya unduh beberapa di antaranya, lalu pulang. Haworthria -sejenis kaktus- menjadi teman saya mendengarkan untaian petuah beliau, hingga pada ucapan yang beliau nukil dari Syaikh Ushaimi hafidzahullah : Man tsabata nabata, jika  diterjemahkan kurang lebih artinya “Barangsiapa yang kokoh, dia akan tumbuh”. Ustadz Nuzul Dzikri menyampaikan kalimat tersebut sebagai pesan agar kita konsisten dalam mengikuti kajian. Jika sudah mengikuti satu kajian (tentu saja

BTW#2 "Takur tulung-tumpuk / Black-banded Barbet / Psilopogon javensis"

Bismillahirrahmaanirrahiim Foto oleh Swiss Winnasis di TNGM  Takur tulung-tumpuk mempunyai ukuran agak besar (26 cm), berwarna-warni. Bulu dewasa biasanya hijau polos. Mahkota kuning dan bintik kuning di bawah mata, tenggorokan merah. Ada bercak merah pada sisi dada dan kerah lebar hitam melewati dada atas dan sisi kepala sampai mata. Setrip hitam yang kedua melewati mata.  Iris coklat, paruh hitam, kaki hijau-zaitun suram (MacKinnon, 2010). Takur tulung-tumpuk merupakan burung genus Megalaima dari famili Capitonidae (Horsfield, 1821), tetapi didalam website IUCN RedList 2015 del Hoyo dan Collar (2014) memasukkan takur tulung-tumpuk kedalam genus Psilopogon sehingga nama ilmiahnya menjadi Psilopogon javensis. Perjumpaan pertama saya dengan takur tulung-tumpuk terjadi pada tanggal 22 Maret 2014 di Plawangan, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Hingga saat ini, saya tidak pernah berjumpa lagi melainkan hanya mendengar suaranya. Suara takur tulung-tumpuk sangat khas dan muda